Pengaturan Baru Bea Meterai Indonesia Tahun 2021

Oleh: Dedi Putra S.H.

Tanggal: 3 Desember 2020

 

Bea meterai merupakan salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara melalui pajak bea meterai. Dokumen ini membahas hal-hal penting dalam pengenaan bea meterai yang dibahas dalam beberapa sub pembahasan, yakni: dasar hukum bea meterai, tujuan pengaturan dan objek bea meterai, pembayaran bea meterai terutang dan jenis bea meterai; dan penjelasan bahwa bea meterai tidak menjadi syarat sah perjanjian.

Dasar Hukum Bea Meterai

Di Indonesia pengaturan bea meterai sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (“UU 13/1985”). UU 13/1985mengatur mengenai bea meterai yang berlaku terhadap dokumen tertentu. Seiring berjalannya waktu, UU 13/1985 dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum, kebutuhan masyarakat, dan kebutuhan tata kelola bea meterai. Berdasarkan pertimbangan tersebut pada tanggal 26 Oktober 2020, UU 13/1985 telah dicabut oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai (“UU Bea Meterai”) yang mana akan berlaku pada tanggal 1 Januari 2021. UU Bea Meterai mengatur dokumen yang menjadi objek bea meterai terdiri atas dokumen kertas dan selain kertas, termasuk dokumen elektronik tertentu sesuai undang-undang di bidang informasi dan transaksi elektronik. UU Bea Meterai mempertegas waktu menentukan pembayaran bea meterai yang terutang, meningkatkan tarif meterai, dan menambah jenis meterai.

Tujuan Pengaturan dan Objek Bea Meterai

  1. Tujuan Pengaturan Bea Meterai

Bea meterai adalah pajak atas dokumen (“Bea Meterai”). Dokumen yang dimaksud adalah sesuatu yang ditulis atau tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetakan, atau elektronik, yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan (“Dokumen”). Pasal 2 Ayat (2) UU Bea Meterai menyatakan bahwa pengaturan Bea Meterai bertujuan untuk:

  • mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera;
  • memberikan kepastian hukum dalam pemungutan bea meterai;
  • menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat;
  • menerapkan pengenaan Bea Meterai secara lebih adil; dan
  • menyelaraskan ketentuan Bea Meterai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

2. Objek dan Tarif Bea Meterai

Pasal 3 Ayat (1) UU Bea Meterai mengatur bahwa Bea Meterai dikenakan terhadap Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan suatu kejadian yang bersifat perdata dan Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Dokumen yang bersifat perdata tersebut diuraikan lebih lanjut dalam Pasal 3 Ayat (2) UU Bea Meterai yang meliputi:

  • surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;
  • akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya;
  • akta pejabat pembuat akta tanah beserta salinan dan kutipannya;
  • surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
  • Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
  • Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;
  • Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang:
  • menyebutkan penerimaan uang; atau
  • berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan; dan
  • Dokumen lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Dokumen yang bersifat perdata maupun Dokumen yang digunakan sebagai alat pembuktian sebagaimana dijelaskan di atas dikenai Bea Meterai dengan tarif tetap sebesar Rp10.000,00 (Pasal 5 UU Bea Meterai). Selanjutnya Pasal 7 UU Bea Meterai mengatur Bea Meterai tidak dikenakan atas Dokumen yang berupa:

  • Dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang:
  • surat penyimpanan barang;
  • konosemen;
  • surat angkutan penumpang dan barang;
  • bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;
  • surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; dan
  • surat lainnya yang dapat dipersamakan dengan surat sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 5 di atas;
  • segala bentuk ijazah;
  • tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran dimaksud;
  • tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk oleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
  • Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran uang simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang menyelenggarakan penyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh kustodian kepada nasabah;
  • surat gadai;
  • tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga, dengan nama dan dalam bentuk apa pun; dan
  • Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter.

Bea Meterai tidak Menjadi Syarat Sah Perjanjian

Sesuai dengan Fungsi Bea Meterai, Bea Meterai tidak menjadikan suatu perjanjian menjadi sah. Perjanjian adalah sah apabila memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Terdapat 4 (empat) syarat sah perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yakni kesepakatan, kecakapan bertindak, objek tertentu, dan kuasa halal. Kesepakatan dan kecapakan merupakan syarat subjektif. Apabila tidak dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan. Objek tertentu dan kuasa halal merupakan syarat objektif yang apabila tidak dipenuhi, perjanjian menjadi batal demi hukum. Dengan kata lain, perjanjian dianggap tidak pernah ada sejak awal.

Meskipun Bea Meterai tidak menjadi syarat sahnya suatu perjanjian, namun perjanjian tetap membutuhkan pelunasan Bea Meterai. Sesuai dengan Pasal 3 Ayat (1) huruf a UU Bea Meterai, perjanjian termasuk Dokumen yang membutuhkan pelunasan Bea Meterai agar dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan. Apabila perjanjian belum mendapatkan pelunasan Bea Meterai namun hendak diajukan sebagai bukti di pengadilan, maka perjanjian tersebut dapat dilakukan pemeteraian kemudian sesuai Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2014 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemeteraian Kemudian (“Permenkeu No. 70/2014”). Pasal 1 angka 5 Permenkeu No. 70/2014 mengatur pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan bea meterai yang dilakukan oleh pejabat pos atas permintaan pemegang dokumen yang bea meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya. Pengesahan oleh pejabat pos dilakukan setelah pemegang dokumen melunasi bea meterai dengan menggunakan meterai tempel atau Surat Setoran Pajak (“SSP”). Pelunasan bea meterai dengan pemeteraian kemudian dilakukan dengan menggunakan meterai tempel atau SSP, sedangkan pelunasan denda administrasi dilakukan dengan menggunakan SSP (Pasal 3 ayat (4) dan ayat (5)Permenkeu No. 70/2014).

We are ready.
Chat with us
Free Consultation
Powered by