Syarat Perkawinan berdasarkan Perubahan Undang-Undang Perkawinan Terbaru

Oleh: Yudistira Adipratama, S.H., LL.M. dan Dinda Roossa Prasetya, S.H.

Tanggal: 10 Oktober 2023

 

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) telah mengatur bahwa perkawinan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Selain ketentuan tersebut, UU Perkawinan juga mengatur syarat materiil lain dalam pelaksanaan perkawinan, seperti misalnya batasan umur para mempelai. Kemudian pada tahun 2019, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (“UU 16/2019”) yang mengubah syarat materiil perkawinan sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan. Adapun syarat materiil perkawinan sebagaimana diatur dalam UU 16/2019 adalah sebagai berikut:

  • Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Suatu perkawinan tidak boleh dilangsungkan dengan adanya paksaan dari suatu pihak agar perkawinan tersebut dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, serta sesuai dengan hak asasi manusia.
  • Calon mempelai yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapatkan izin dari kedua orang tua. Jika tidak memungkinkan untuk mendapatkan izin dari kedua orang tua, misalnya karena salah seorang dari orang tuanya telah meninggal atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin tersebut dapat diberikan oleh orang tua yang masih hidup atau dapat menyatakan kehendaknya saja. Namun, apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia, maka izin tersebut dapat diberikan oleh wali, orang yang memelihara, atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas.
  • Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Jika calon mempelai belum berumur 19 (sembilan belas) tahun, maka orang tua mereka dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan memberikan alasan sangat mendesak yang disertai bukti pendukung.
  • Perkawinan di antara calon mempelai tidak dilarang. Perkawinan yang dilarang adalah apabila dilangsungkan antara dua orang yang berhubungan darah (baik garis keturunan ke atas/bawah maupun menyamping), berhubungan semenda (mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri), berhubungan susuan, berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri (dalam hal suami beristri lebih dari seorang), dan/atau menurut agama atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
  • Calon mempelai tidak masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali telah mendapat izin dari pengadilan untuk beristri lebih dari seorang. Adapun pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila istrinya tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istrinya mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau istrinya tidak dapat melahirkan keturunan. Selain itu untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, harus juga mendapat persetujuan istri, harus ada kepastian bahwa suami tersebut mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak mereka, dan adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil.
  • Sepasang suami dan istri yang telah kawin-cerai untuk kedua kalinya tidak boleh melangsungkan perkawinan untuk ketiga kalinya dengan orang yang sama, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya tidak menentukan lain.
  • Bagi wanita yang telah putus perkawinannya, berlaku jangka waktu tunggu sebelum dapat melangsungkan perkawinan lagi.

 

Dengan adanya perubahan dari UU Perkawinan, maka berlaku syarat materiil perkawinan sebagaimana diatur dalam UU 16/2019. Syarat tersebut meliputi persyaratan persetujuan, umur, dan larangan perkawinan. Apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka UU Perkawinan mengatur bahwa perkawinan tersebut dapat dicegah atau dibatalkan. Dengan demikian maka menjadi penting bagi para calon pengantin untuk memenuhi syarat materiil tersebut sebelum melangsungkan perkawinan.

We are ready.
Chat with us
Free Consultation
Powered by