Penerapan Keadaan Kahar dalam Praktik Bisnis akibat Covid-19

Oleh: Dedi Putra S.H.

Tanggal: 9 Mei 2020

 

Dalam legal alert berikut akan dibahas mengenai definisi dan pembagian keadaan kahar, dampak COVID-19 sebagai suatu keadaan kahar dan langkah-langkah penyelesaiannya serta keberlakuan COVID-19 yang tidak diatur sebagai suatu keadaan kahar dalam perjanjian.

Keadaan Kahar dan Pembagiannya

Dalam suatu perjanjian, para pihak memiliki hak dan kewajiban yang diatur secara seimbang. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya, maka pihak lain dapat menuntutnya untuk memenuhi prestasinya. Namun, ada suatu keadaan dimana masing-masing pihak terbebas dari kewajiban yang harus dipenuhi dalam perjanjian. Keadaan tersebut dikenal sebagai keadaan kahar. Dengan kata lain, keadaan kahar adalah dasar untuk membebaskan para pihak untuk melaksanakan kewajibannya dalam perjanjian.

Keadaan kahar terbagi menjadi dua, yakni keadaan kahar absolut dan keadaan kahar relatif. Keadaan kahar absolut terjadi apabila prestasi tidak dapat dilaksanakan seluruhnya. Misalnya, objek benda dalam perjanjian telah hancur karena bencana alam. Dalam hal ini pemenuhan prestasi tidak mungkin dilaksanakan oleh siapapun. Keadaan kahar relatif terjadi ketika suatu prestasi dalam perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan namun membutuhkan pengorbanan atau biaya yang sangat besar. Misalnya dalam hal penyediaan jasa angkutan, pemerintah tiba-tiba menaikkan harga bahan bakar minyak. Dalam hal ini jasa angkutan masih bisa dilakukan, namun tentu saja membutuhkan biaya yang besar untuk melaksanakan prestasinya berupa penyediaan jasa angkutan.

Dampak COVID-19 sebagai Keadaan Kahar dan Langkah-Langkah Penyelesaiannya

Pada praktiknya perjanjian seringkali mengatur ketentuan terkait kejadian-kejadian yang dikategorikan sebagai keadaan kahar. Pandemi COVID-19 dapat diatur sebagai suatu keadaan kahar dalam perjanjian sepanjang keberadaan COVID-19 menyebabkan masing-masing tidak dapat melaksanakan prestasinya atau bahkan menyebabkan perjanjian dapat diakhiri.

Apabila COVID-19 diatur sebagai suatu keadaan kahar dalam perjanjian, maka pada umumnya akan menimbulkan 3 (tiga) akibat, yakni:

  1. Pihak yang terkena dampak keadaan kahar dibebaskan dari kewajibannya selama periode keadaan kahar berlangsung. Setelah keadaan kahar berakhir, pihak tersebut tetap harus melanjutkan kewajibannya.
  2. Pihak yang terkena dampak keadaan kahar tidak bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi karena tidak melaksanakan kewajibannya.
  3. Dalam hal tertentu, perjanjian dapat diakhiri.

Tiga akibat di atas tentu tidak berlaku secara otomatis. Para pihak biasanya mengatur langkah-langkah yang dipersiapkan untuk menghadapi keadaan kahar. Pada praktiknya, pihak yang terkena dampak dari keadaan kahar memiliki kewajiban pemberitahuan kepada pihak lainnya bahwa telah munculnya keadaan kahar dan pihak tersebut tidak dapat melaksanakan prestasinya. Selain itu, pihak yang terkena dampak dari keadaan kahar juga harus membuktikan bahwa tidak dapat dilaksanakan suatu prestasi karena munculnya COVID-19 sebagai suatu keadaan kahar. Selanjutnya, pihak yang lainnya juga dapat melakukan investigasi untuk melihat kebenaran bukti yang disediakan oleh pihak yang terkena dampak keadaan kahar. Setelah proses demikian dilalui, para pihak dapat menentukan COVID-19 menjadi sebab prestasi sulit untuk dilaksanakan atau bahkan prestasi tidak dapat dilaksanakan sama sekali, sehingga berpotensi perjanjian dapat diakhiri.

Para pihak dapat menentukan tingkat kesulitan dilaksanakannya suatu prestasi apabila terjadinya COVID-19. Apabila tidak tercapai suatu kesepakatan melalui musyawarah mufakat, maka para pihak dapat menempuh penyelesaian melalui badan arbitrase atau badan peradilan sesuai pilihan forum penyelesaian sengketa yang diatur dalam perjanjian. Praktiknya, pengadilan atau badan arbitrase tentu akan menggunakan doktrin itikad baik berdasarkan KUHPerdata untuk membebaskan pihak atau mengurangi pertanggungjawaban pihak yang terkena dampak COVID-19 yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan prestasinya.

Keadaan Kahar tetap Berlaku meskipun tidak diatur dalam Perjanjian

Meskipun para pihak yang terlibat dalam suatu transaksi bisnis tidak pernah memperjanjikan pandemi COVID-19 sebagai suatu keadaan kahar, pihak yang terkena dampak dari COVID-19 tetap dapat terbebas dari kewajibannya dalam perjanjian. Hal ini dikarenakan keadaan kahar diatur dalam Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Pasal 1245 KUHPerdata masuk dalam bagian Buku III KUHPerdata yang sifatnya melengkapi perjanjian. Artinya, Pasal 1245 pada Buku III KUHPerdata tersebut tetap berlaku sepanjang sepanjang para pihak tidak mengatur sebaliknya dalam perjanjian. Apabila perjanjian mengatur bahwa pandemi COVID-19 bukan bagian dari keadaan kahar, maka para pihak tetap harus melaksanakan kewajibannya meskipun adanya keadaan kahar mempengaruhi prestasi dalam perjanjian.

We are ready.
Chat with us
Free Consultation
Powered by