Oleh: Yudistira Adipratama, S.H., LL.M. dan Mohamad Rafi Andiansyah, S.H.
Tanggal: 9 Agustus 2023
Dunia teknologi dan hiburan semakin terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari kita, membawa manfaat yang tak terhitung jumlahnya. Namun, kita juga harus memahami dampak negatif yang mungkin timbul. Kasus yang melibatkan gim Free Fire, merupakan contoh tragis bagaimana teknologi dapat disalahgunakan untuk tujuan jahat. K-CASE Lawyer memberikan pandangan dan saran sehubungan kejadian tersebut sebagai berikut.
Latar Belakang Kasus
Kasus ini bermula dari laporan publik kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) oleh orang tua korban di Papua. Mereka melaporkan bahwa anak-anak mereka telah menjadi korban kejahatan seksual secara online yang dilakukan oleh seorang pelaku berusia 21 tahun, yang disebut dengan inisial “S” melalui gim Free Fire. S melakukan pendekatan terhadap para korban dengan janji memberikan mata uang dalam permainan yang dikenal sebagai “diamonds.”
Modus Operandi dan Ancaman
S, dengan menggunakan manipulasi dan ancaman, berhasil mengarahkan korban-korban muda untuk terlibat dalam panggilan video eksplisit serta pertukaran konten pornografi. Ancaman untuk menghapus akun permainan mereka jika mereka menolak patuh pada keinginannya, membuat korban merasa terjebak dalam situasi yang mengerikan.
Tuntutan Hukum
Atas dasar bukti yang ada, S telah didakwa dengan Pasal 76E dan 82 dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016, serta Pasal 4(1), 29, dan 37 dari Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Jika terbukti bersalah, S bisa menghadapi hukuman maksimal lima belas tahun penjara dan denda sampai lima miliar Rupiah.
K-CASE Lawyer memandang kasus ini berpendapat bahwa S telah memenuhi unsur pidana yang disebutkan berdasarkan dasar bukti yang ada. Analisis terhadap setiap unsur pasal pidana tersebut adalah sebagai berikut:
- Pasal 76E Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal ini melarang setiap orang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. S telah melakukan perbuatan yang sesuai dengan deskripsi dalam pasal ini, yang melibatkan pemaksaan atau bujukan terhadap anak untuk melakukan perbuatan cabul.
- Pasal 4(1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Pasal ini melarang setiap orang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat pornografi anak. S telah melakukan tindakan yang sesuai dengan deskripsi dalam pasal ini dengan memproduksi, menyebarkan, atau menyediakan materi pornografi yang melibatkan anak.
- Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Pasal ini menjelaskan bahwa setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun, serta/atau pidana denda mulai dari Rp. 250.000.000,00 hingga maksimal Rp. 6.000.000.000,00. S telah memenuhi unsur pasal ini dengan melakukan tindakan yang dilarang dalam Pasal 4 ayat (1), sehingga ia terkena ancaman pidana sebagaimana diatur dalam pasal ini.
Berdasarkan fakta yang telah diberikan, S telah memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana yang disebutkan dalam pasal-pasal tersebut dan dapat disanksi sebagaimana dipandang layak oleh peradilan.
Tanggung Jawab dan Pencegahan
Kasus ini mengingatkan kita tentang pentingnya pengawasan dan perlindungan anak-anak dalam lingkungan digital. Orang tua dan wali memiliki peran krusial dalam memastikan bahwa anak-anak mereka bermain permainan online dengan aman dan sehat. Dalam hal ini, meningkatkan pengawasan terhadap permainan yang dimainkan oleh anak-anak serta interaksi online mereka adalah langkah yang sangat penting.
Selain itu, platform gim juga harus berperan aktif dalam mencegah penyalahgunaan semacam ini. Aturan dan monitor aktivitas pengguna harus diperketat sehingga tidak ada peluang bagi pelaku untuk memanipulasi anak-anak secara apapun. Peningkatan kesadaran tentang risiko dan tindakan preventif di kalangan orang tua, pengajar, dan masyarakat umum juga sangat penting.
Kasus penyalahgunaan gim Free Fire sebagai sarana untuk melakukan kejahatan seksual online terhadap anak-anak adalah peringatan yang harus dikaji secara serius oleh seluruh masyarakat. Perlindungan anak dalam dunia digital harus menjadi prioritas utama bagi semua pihak terlibat, termasuk orang tua, pemerintah, lembaga perlindungan anak, dan penyedia platform gim. Dengan kerja sama yang kuat dan langkah-langkah preventif yang efektif, kita dapat menjaga anak-anak dari risiko kejahatan online dan menciptakan lingkungan yang aman dan positif bagi mereka.