Tag: jual rugi

Oleh: Yudistira Adipratama, S.H., LL.M. dan Dinda Roossa Prasetya, S.H.

Tanggal: 18 Oktober 2023

 

Dalam menjalankan usahanya sering ditemukan bahwa pelaku usaha kerap melakukan penjualan dengan harga yang lebih murah dari harga pasaran. Namun, yang jarang diketahui adalah bahwa sebenarnya tindakan tersebut merupakan tindakan yang dilarang oleh hukum persaingan usaha yang berlaku di Indonesia. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU Larangan Praktik Monopoli”). Artikel berikut akan membahas lebih lanjut mengenai ketentuan tersebut beserta akibat hukumnya.

 

Tindakan menjual barang di bawah harga pasar dalam hukum persaingan usaha dikenal dengan istilah predatory pricing. Hal tersebut diatur dalam Pasal 20 UU Larangan Praktik Monopoli yang melarang sebagai berikut:

“Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan/atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan tujuan menyingkirkan usaha pesaingnya dari pasar sehingga mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.”

 

Pembuktian atas telah terjadinya predatory pricing sebagaimana dijelaskan dalam pasal tersebut dilakukan dengan metode rule of reason. Metode rule of reason ini dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“KPPU”) dengan menyelidiki apakah suatu kegiatan yang dilarang tersebut berdampak pada adanya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Salah satu kasus predatory pricing yang telah diputus oleh KPPU adalah yang dilakukan oleh semen Conch di pasar Kalimantan Selatan pada tahun 2021. Atas tindakannya semen Conch dihukum membayar denda sebesar Rp22.350.000.000,00 (dua puluh dua miliar tiga ratus lima puluh juta rupiah).

 

Dalam kasus semen Conch, ditemukan bahwa pada waktu tersebut harga modal pembuatan satu kantong semen ukuran 50kg adalah Rp53.000,00 (lima puluh tiga ribu rupiah), namun semen Conch menjual pada harga Rp45.000,00 (empat puluh lima ribu rupiah). Perbuatan menjual rugi tersebut juga terbukti dalam laporan keuangan semen Conch yang menunjukan adanya kerugian akibat perbuatan tersebut. Dengan demikian telah terbukti bahwa semen Conch memenuhi unsur jual rugi dalam pasal predatory pricing. Unsur tersebut juga dikuatkan dengan fakta bahwa semen Conch dikendalikan oleh Anhui Conch Cement Company Limited, sebuah perusahaan multinasional yang memiliki kemampuan finansial yang kuat dan berpeluang untuk menguasai industri semen.

 

Tindakan predatory pricing yang dilakukan semen Conch pada saat itu ditujukan untuk menyingkirkan usaha pesaing dan mengakibatkan monopoli pasar. Hal tersebut terbukti dengan tutupnya usaha produsen semen pesaing. Beberapa produsen semen lain, seperti Semen Tarjun Indocement, mengalami kebankrutan karena tidak dapat bersaing meskipun telah menjual semennya dengan harga Rp53.000,00 (lima puluh tiga ribu rupiah). Kemudian setelah produsen semen lain mengalami kebankrutan dan menutup usahanya, semen Conch memonopoli pasar semen di Kalimantan Selatan dan menaikan harga semennya menjadi Rp65.000,00 (enam puluh lima ribu rupiah) per kantong.

 

Tindakan predatory pricing memiliki akibat yang sangat fatal baik bagi persaingan usaha maupun terhadap konsumen karena dapat mematikan usaha pesaing yang lebih lemah dan mengakibatkan pelakunya menjadi dapat menetapkan harga tinggi dengan semena-mena. Sehingga larangan atas tindakan tersebut perlu diatur dalam UU Larangan Praktik Monopoli. Namun, pembuktian adanya predatory pricing memerlukan analisis dampak adanya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat oleh KPPU. Kasus semen Conch diputuskan sebagai tindakan predatory pricing karena telah memenuhi unsur tindakan jual rugi untuk menyingkirkan usaha pesaing dan mengakibatkan monopoli pasar.

We are ready.
Chat with us
Free Consultation
Powered by